Muhammad Aksha Wahda
Disampaikan Pada Ekspose Naskah Akademik Ranperda Kabupaten Wajo tentang Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Perikanan, November 2022.
Paradigma pengelolaan sumber daya alam sangat terkait dengan paradigma pembangunan suatu negara. Secara umum paradigma pembangunan negara berkembang mengacu pada paradigma yang dikembangkan oleh negara barat. Pasca perang dunia kedua, paradigma developmentalism (pembangunan) muncul sebagai paradigma baru yang diperkenalkan oleh Amerika. Paradigma ini memandang bahwa negara dunia ketiga merupakan negara yang berada pada posisi keterlebelakangan sehingga perlu mendapatkan dukungan untuk memperbaiki kondisi tersebut. Paradigma pembangunan menekankan pada 4 (empat) isu pokok yaitu (1) pertumbuhan, (akumulasi kapital), (3) transformasi struktural, dan (4) peran pemerintah.
Developmentalism sangat menekankan 4 (empat) isu tersebut, logika yang dibangun bahwa pembangunan dapat menciptakan pertumbuhan ekonomi yang ditandai oleh peningkatan pendapatan perkapita. Syarat agar dapat tumbuh dengan baik adalah adanya akumulasi kapital (modal), investasi dan industrialisasi (Mashud and Sudarso 2010) .ketiga cara tersebut sangat efektif untuk mendorong transformasi struktural. Transformasi struktural dapat tergambar melalui proses modernisasi dalam berbagai aspek, misalnya perubahan pola penghidupan subsisten ke pola penghidupan dengan orientasi ekonomi, atau perubahahan cara produksi dari tradisional ke industrialisasi.
Bagi penganut developmentalism, cara tradisional dan subsisten merupakan bentuk keterbelakangan dari negara-negara dunia ketiga. Salah satu cara untuk sampai pada lompatan pembangunan dengan peningkatan pendapatan perkapita adalah dengan industrialisasi. Melalui industrialisasi jumlah serapan tenaga kerja akan meningkat, produksi meningkat sehingga dapat memenuhi kebutuhan pasar. Bila proses tersebut berjalan dengan baik maka pendapatan nasional akan meningkat.
Akumulasi kapital yang terjadi pada negara-negara dunia ketiga dilakukan dengan memaksimalkan pemanfaatan sumber daya alam yang ada. Praktik ini banyak mendapatkan kritik dari para pemikir dengan mashab kritis, menurutnya bahwa develpomentalism sangat bersifat ekonomi sentrris (Jati 2013). Dalam pandangan developmentalism, sumber daya alam diperlakukan sebagai objek eksploitasi untuk mencapai rasio pertumbuhan ekonomi. Hal tersebutlah yang menjadi penyebab terjadinya perilaku eksploitatif yang berlebihan dalam mengeruk kekayaan sumber daya alam yang ada. Dampaknya adalah kerusakan ekosistem dan selanjutnya diikuti dengan penurunan kualitias hidup manusia.
Studi terkait dengan kerusakan ekosistem dan dampaknya terhadap kualitas hidup manusia menemukan bahwa ekspolitasi yang berlebihan terhadap sumber daya alam akan berakibat pada meningkatnya ketimpangan antara negara dan masyarakat. Terry Karl Linch dan Palley dalam studinya menyebutnya sebagai kutukan sumber daya alam. Mereka menemukan bahwa paradoks pada negara yang kaya dengan sumber daya alam, seharusnya kekayaan tersebut berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Namun yang terjadi adalah sebaliknya, masyarakat terjerat rantai kemiskinan. George Soros menjelaskan bahwa kutukan sumber daya alam adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan kegagalan negara-negara kaya sumber daya alam untuk mengambil manfaat dari kekayaan sumber daya alam yang mereka miliki.
Studi tentang kerusakan ekosistem dan sumber daya alam akibat proses pembangunan dan modernisasi juga dikemukakan oleh Ulrich Beck dalam tulisannya yang berjudul Risk Society : Toward A New Modernity. Beck menjelaskan 3 (tiga) konsep penting dalam masyarakat resiko yaitu resiko. Reflesivitasm dan efek boomerang (Beck 1992): Resiko adalah kemungkinan-kemungkinan kerusakan fisik yang disebabkan oleh proses teknologi dan proses-proses lainnnya seperti proses sosial, ekonomi, dan politik. Dengan demikian, resiko mempunyai hubungan yang erat dengan sistem, model, dan proses perubahan dalam masyarakat (industrialisasi, modernisasi, pembangunan) yang menentukan tingkat resiko.
Berkaitan dengan resiko, Piliang (2009) mengemukakan tiga ekologi resiko yaitu:
- Resiko fisik ekologis yaitu aneka resiko kerusakan fisik pada manusia dan lingkungannya, contohnya banjir, kebakaran hutan, polusi air dan udara.
- Resiko sosial yaitu aneka resiko yang menggiring pada rusaknya bangunan dan lingkungan sosial sebagai akibat dari faktor-faktor eksternal kondisi alam, teknologi, dan industri, yang sekaligus menciptakan pula secara bersamaan resiko sosial, berupa tumbuhnya aneka penyakit sosial seperti ketidakpedulian, indisipliner, fatalitas, egoisme, dan immoralitas.
- Resiko mental hancurnya hancurnya bangunan psikis, berupa perkembangan aneka bentuk abnormalitas, penyimpangan (deviance) atau kerusakan psikis lainnya, baik yang disebabkan faktor eksternal maupun internal.
Efek boomerang adalah pengaruh sampingan dari risiko yang dapat menyerang kembali ke pusat pembuatnya. Sehingga, sering kali masyarakat penikmat hasil modernisasi terjebak pada apa yang mereka nikmati.
Meskipun modernisasi lebih dahulu menghasilkan resiko, namun resiko juga menghasilkan reflesivitas yang memungkinkannya untuk mempertanyakan dirinya sendiri dan resiko yang dihasilkannya. Refleksivitas termanifestasikan dalam bentuk pikiran, renungan, dan tindakan yang bertujuan untuk mengantisipasi, mengurangi, dan mengatasi dampak-dampak akibat resiko.
Sederhanya, konsep masyarakat resiko dapat dimaknai sebagai masyarakat yang sangat rentan dengan berbagai resiko akibat dari kemajuan (modernitas) yang mereka hadirkan, artinya resiki selalu hadir bersamaan dengan kemajuan yang diciptakan oleh manusia.
Pengelolaan sumber daya alam dengan paradigma developemtalism akan mengarahkan pada pengelolaan yang bersifat top down, negara memiliki power untuk mengatur pengelolaan dan pendistribusian manfaat kekayaan alam. Pengelolaan yang bersifat top down menghadirkan privatiasi sumber daya alam, padahal sebelumnya bersifat sumber daya komunal. Privatisasi aset sumber daya alam sangat berpotensi untuk terjadinya perampasan ruang hidup manusia, sebab manfaat sumber daya alam akan terkonsentrasi pada satu orang atau kelompok.
Dalam paradigma developmentalism, privatisasi hadir melalui dukungan kebijkan dari negara sebagai regulator atas kontrol terhadap sumber daya alam. Vandana Shiva (Shiva 1988) memberikan kritik atas tata kelola dengan pendekatan top down, bahwa tata kelola sumber daya alam dengan pendekatan top down menempatkan masyarakat hanya sebagai pelaksana saja tanpa adanya ruang untuk mempertanyakan kenapa, mengapa, atau bahkan memberikan protes, hingga pada akhirnya merugikan masyarakat. Maka untuk itu pengelolaan sumber daya alam harus bersifat afirmatif bagi masyarakat, dan menempatkan masyarakat sebagai aktor kunci sama halnya dengan negara.
Alternatif pengelolaan sumber daya alam dapat ditemukan dalam paradigma ekologi politik. Ekologi politik dapat diartikan sebagai kajian politik yang memahami relasi isu manusia dengan perubahan lingkungan sebagai hasil dari proses politik (Dharmawan 2008). Paradigma ekologi politik selalu memberikan kritik terhadap konsep-konsep ekonomi politik dalam developmentalism yang memiliki kontribusi dalam dalam perubahan lingkungan.
Ekologi politik menolak antroposentrisme dalam wacana developmentalism, antroposentrisme memandang bahwa manusia adalah pusat dari seluruj kehidupan dan alam alam disciptakan untuk memenuhi kebutuhan manusia (Jati 2013). Manusia berperan besar untuk memberi nilai untuk menentukan layak tidaknya alam sebagai suatu benda. Oleh karena itulah, manajemen pengelolaan sumber daya model tradisional bisa dikatakan sebagai tata kelola beraliran antroposentrisme. Ekologi politik menawarkan perspektif yang ekosentrisme sebagai kritik dan solusi dari antroponsentrisme. Ekosentrisme memposisikan antara manusia dengan alam dalam relasi yang timbal balik dan saling membutuhkan sebagai bagian dari komunitas biosfer. Manusia dan alam merupakan entitas yang melengkapi dan menghidupi dalam relasi kausalistik dengan melakukan mekanisme pertukaran (exchanges). Adapun pertukaran yang dilakukan oleh manusia dan alam sendiri meliputi energi, materi, dan informasi sepertei yang tertera dalam tabel berikut ini.

Sumber: (Dharmawan 2007)
Mekanisme yang tertera dalam gambar tersebut menggambarkan adanya konsep kebutuhan dasar (basic needs) antara manusia dengan alam yang saling berkaitan. Manusia memiliki kebutuhan atas hasil alam untuk mencukupi sandang, pangan, dan papan dari hasil sistem ekologis alam. Sebaliknya pula, alam membutuhkan manusia melalui pendekataran teknokratisnya untuk senantiasa menjaga ketahanan (nature sustainability) alam agar berproduksi menghasilkan kemanfaatan bagi manusia. Aspek ketahanan (nature sustainability) menjadi perhatian utama bagi perspektif ekologi-politik dalam menawarkan gagasan alternatif dalam menata manajemen pengelolaan sumber daya alam.
Mekanisme yang tertera dalam gambar tersebut menggambarkan adanya konsep kebutuhan dasar (basic needs) antara manusia dengan alam yang saling berkaitan. Manusia memiliki kebutuhan atas hasil alam untuk mencukupi sandang, pangan, dan papan dari hasil sistem ekologis alam. Sebaliknya pula, alam membutuhkan manusia melalui pendekataran teknokratisnya untuk senantiasa menjaga ketahanan (nature sustainability) alam agar berproduksi menghasilkan kemanfaatan bagi manusia. Aspek ketahanan menjadi perhatian utama bagi perspektif ekologi-politik dalam menawarkan gagasan alternatif dalam menata manajemen pengelolaan sumber daya alam.
Dalam bukunya yang berjudul Staying Alive, Vandana Shiva menyatakan bahwan dimensi ketahanan dan keberlanjutan (sustainability) dalam perspektif ekologi politik sendiri meluputi dua hal yakni pengelolaan sumber daya alam berbasiskan masyarakat (the commons) dan adanya keadilan bagi lingkunangan (enviromental justice). Dalam tradisi developmentalism mengabaikan pengelolaan sumber daya alam berbasiskan masyarakat dan keadilan lingkungan, privatisasi dan eksploitasi secara besar-besaran merupakan cara yang efektif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Dalam hal pengelolaan sumber daya alam terdapat tiga model yang dikemukakan oleh Ostrom yaitu states way, market way, dan common pool resources (Ostrom 1990). States way merupakan pola negara sentris memiliki keuntungan untuk membagi secara merata hasil kekayaan sumber daya alam kepada masyarakat, namun aktor lain tidak diberi peran dalam tata kelola sumber daya alam karena dimonopoli negara. Model yang kedua market way, merupakan pola pasar yang memberikan banyak pilihan konsumtif, namun pasar juga cenderung ekspansif untuk melakukan komodifikasi barang publik menjadi barang privat. Model yang ketiga dan sebagai model alternatif, common pool resuorces dilaksanakan dengan meredistribusi manfaat sumber daya alam secara adil dan berkelanjutan terhadap masyarakat.
Paradigma ekologi politik memberikan alternatif pilihan dalam pengelolaan sumber daya alam, kunci dari paradgima ekologi politik adalah adanya sinergitas berbagai pihak dalam meliputi negara, masyarakat sipil, dunia usaha, akademisi, dan instutusi media. Harus diakui bahwa penyusunan kebijakan dalam pengelolaan sumber daya alam bersifat negara sentris tanpa melibatkan berbagai pihak, justru sebaliknya peran dan keterlibatan berbagai pihak sangat dibutuhkan dalam pengelolaan sumnber daya alam, pelibatannya dapat dilakukan secara lintas sektoral maupun lintas kultural (Adger, Brown, and Tompkins 2005).
Manejemen Pengelolaan Sumber Daya Alam Dalam Perspektif Ekologi Politik

Model tersebut memberikan gambaran tentang pengelolaan sumber daya alam berlangsung terdesentralisasi dari negara, masyarakat, maupun kalangan media dan universitas dalam kapasitasnya sebagai resource user. Menurit Tompkins (2005) model tersebut mereduksi peran pasar sebagai resource users yang sebelumya dominan dalam pola manajemen yang tersentralisasi. Model yang dikemukakan oleh Tompkins menekanan adanya peran serta atau partisipasi masyarakat, untuk itu penguatan masyarakat lokal dalam pengelolaan sumber daya alam menjadi hal sangan penting. Penguatan masyarakat lokal sebagai aktor dalam tata kelola sember daya alam dilakukan melalui kearifan lokal. Kearifan lokal menjadi seperangkat nilai dan norma yang selanjutnya dijadikan pedoman bagi masyarakat dalam kehidupan sehari. Kearifan lokal membangun hubungan yang erat baik secara emosional maupun spritual antara manusia dengan alam, sehingga keduanya berada dalam satu kesatuan ekosistem, utamamnya manusia akan lebih adapatif terhadap perubahan yang terjadi. Bagi masyarakat lokal, kearifan lokal telah menjadi panduan dalam tata kelola sumber daya alam.
Adger, W. Neil, Katrina Brown, and Emma L. Tompkins. 2005. “The Political Economy of Cross-Scale Networks in Resource Co-Management.” Ecology and Society 10(2). doi: 10.5751/ES-01465-100209.
Beck, Ulrich. 1992. Risk Society: Towards a New Modernity. 1st ed. London: SAGE Publications.
Dharmawan, Arya Hadi. 2007. “Dinamika Sosio-Ekologi Pedesaan: Perspektif Dan Pertautan Keilmuan Ekologi Manusia, Sosiologi Lingkungan Dan Ekologi Politik.” Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan 1(2):1–40. doi: 10.22500/sodality.v1i2.5932.
Dharmawan, Arya Hadi. 2008. “Pendekatan-Pendekatan Pembangunan Pedesaan Dan Pertanian: Klasisk Dan Kontemporer.” (November 2006):19–25.
Jati, Wasisto Raharjo. 2013. “MANAJEMEN TATA KELOLA SUMBER DAYA ALAM BERBASIS PARADIGMA EKOLOGI POLITIK.” Politika: Jurnal Ilmu Politik 3(2):98–111.
Mashud, Mustain, and Sutinah Sudarso. 2010. Sosiologi Pembangunan. 1st ed. Tangeran Selatan: Universitas Terbuka.
Ostrom, Elinor. 1990. Governing the Commons. edited by James and D. North. Cambridge United Kingdom: Cambridge University Press.
Shiva, Vandana. 1988. Staying Alive: Women, Ecology, and Survival in India. London: Zed Books Ltd.